Oleh: Sigit Priatmoko, M.Pd
Upaya pengarusutamaan moderasi beragama di perguruan tinggi agaknya harus menempuh jalan terjal. Satu di antara tantangan beratnya adalah masuknya radikalisme di kalangan mahasiswa (Basri & Dwiningrum, 2019). Sebelumnya, Badan Intelijen Negara (BIN) pada tahun 2017, melaporkan terdapat tujuh perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme (Halim, 2018). Penelitian Halim juga menemukan bahwa terdapat 39% mahasiswa di 15 provinsi menunjukkan ketertarikannya pada paham radikal yang dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan, yakni: rendah, sedang, dan tinggi. Data ironis lainnya dirilis oleh Setara institute. Melalui penelitian yang dilakukan hingga bulan April 2019, lembaga ini menemukan sekurang-kurangnya 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia telah terpapar paham radikal keagamaan. Perguruan Tinggi Negeri tersebut yaitu Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gadjah Mada. Hasil yang relatif sama juga diperoleh melalui penelitian yang dilakukan di Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, dan Universitas Airlangga (Asriani, 2019).
Radikalisme yang masuk di kalangan mahasiswa bisa membidani lahirnya vigilantisme dan terorisme. Azca (2013) menggarisbawahi bahwa sekurangnya terdapat tiga faktor penting yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena radikalisme di kalangan kaum muda. Pertama, dinamika sosial politik di fase awal transisi menuju demokrasi yang galib ditandai dengan tingginya derajat gejolak dan ketidakpastian. Pada fase semacam itu, terjadilah pembukaan struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang relatif sempit di bawah rezim otoriter. Kedua, transformasi gerakan radikal Islam yang sebagian memiliki genealogi pada periode awal kemerdekaan. Seperti diungkapkan oleh Martin van Bruinessen (2002), sejumlah gerakan Islam radikal memiliki akar historis pada Masyumi dan Darul Islam (DI).
Menurut Azca, gerakan-gerakan ini mulai mengalami pasang naik sejak awal 1980-an menyusul berbagai perubahan di aras global, antara lain Revolusi Iran pada tahun 1979, serta perubahan di aras domestik, antara lain fragmentasi elit sejak akhir 1980-an. Selain dua faktor di atas, Noorhaidi Hassan (2010: 49) berpendapat bahwa faktor penting lainnya untuk menjelaskan maraknya gerakan radikal Islam pada masa itu adalah tingginya angka pengangguran di kalangan kaum muda di Indonesia: sekitar 72,5% pengangguran di Indonesia pada tahun 1997 berasal dari kaum muda—hanya beringsut sedikit ke angka 70% sepuluh tahun kemudian.
Perguruan tinggi (PT) memiliki peran strategis dalam pencegahan radikalisme dan terorisme. Peran tersebut melekat pada PT mengingat PT memiliki tiga pilar utama, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, yang dalam pelaksanaannya tidak bisa bebas nilai. Dalam penanaman sikap moderasi, PT melaksanakan proses belajar mengajar yang di dalamnya dapat dilakukan interaksi yang memungkinkan terjadinya konstruksi nilai moderasi dan
toleran (Purwanto, Qowaid, & Fauzi, 2019; Anwar & Muhayati, 2021). Interaksi inilah yang menjadi tumpuan utama mengingat interaksi kelas bisa menjadi lokus yang kondusif untuk penanaman sikap moderat dan toleran. Hasil penelitian menunjukan bahwa lembaga pendidikan mempunyai peran penting dalam menanamkan sikap moderasi dan toleransi (Rosyid, 2022; Rohmadi, 2021; Harni, 2022; Afwadzi & Miski, 2021).
Sebagai upaya menguatkan peran dan fungsi PT dalam mengarusutamakan moderasi beragama, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam mengeluarkan Surat Edaran tanggal 29 Oktober 2019 yang ditujukan kepada seluruh Rektor dan Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri agar mendirikan dan menyelenggarakan Rumah Moderasi Beragama. Dalam edaran tersebut dijelaskan bahwa Kementerian Agama memiliki komitmen untuk menjadikan Moderasi Beragama sebagai bagian dari landasan berfikir, bersikap, dan rumusan kebijakan serta program di seluruh stakeholder Kementerian Agama, termasuk di perguruan tinggi PTKIN. Rumah moderasi beragama diminta menjadi pusat edukasi, pendampingan, pengaduan, dan penguatan wacana dan gerakan moderasi beragama di lingkungan PTKIN (Hefni, 2020).
Meski upaya sistematis dan masih tengah dilakukan oleh Kementerian Agama untuk mengarusutamakan moderasi beragama di perguruan tinggi, berbagai tantangan berat selain yang diungkapkan di awal tulisan ini juga masih terus membayangi. Beberapa di antaranya; pertama, datang dari konsep moderasi beragama itu sendiri yang belum mapan secara teori dan konseptual. Wacana moderasi beragama merupakan wacana yang indgenous Indonesia. Sebagai contoh, di Australia, wacana moderasi beragama sulit untuk ditemukan dalam literatur-literatur hasil penelitian. Konsep yang dapat dianggap adalah religious diversity, human right, religious freedom, dan seterusnya. atau keragaman agama. Demikian pula jika ditelusuri ke negara lain atau dalam publisher jurnal internasional, konsep moderasi beragama belum banyak dikenal oleh para akademisi.
Kedua, selain konsep yang masih mengambang, implementasi moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari juga terkesan masih pada tataran permukaan. Kecurigaan antar pemeluk satu agama dengan agama lain masih tertancap dalam diri mereka. Beberapa konflik sosial kegamaan juga masih saja terjadi. Bahkan, konflik yang terjadi tidak hanya melibatkan antar pemeluk agama, namun intra pemeluk agama. Perbadaan paham atau aliran serta organisasi kerap menjadi pemicu bentrokan dan kerusuhan atas nama agama. Sekelompok umat Islam, misalnya, juga tidak segan melakukan vigilantisme atas nama amar ma’ruf nahiy munkar.
Ketiga, menguatnya politik identitas. Efek samping digitalisasi berupa hilangnya sekat- sekat kultural, ternyata berimplikasi pada menguatnya politik identitas. Orang-orang membutuhkan penegasan identitas untuk menunjukkan eksistensinya. Identitas tersebut salah satunya berupa agama. Sayangnya, penegasan identitas ini dibarengi dengan meningkatnya fanatisme buta terhadap kelompok atau golongan dimana seseorang berafiliasi. Perang mulut di media sosial kerap tak terhindarkan jika identitas ini disinggung oleh orang lain. Demikianlah sederet pekerjaan berat yang masih membayangi upaya pengarusutamaan moderasi beragama di perguruan tinggi.