Oleh: Waluyo Satrio Adji, M.Pd.I
Perundungan, pembullyan, pencabulan, kekerasan, perbudakan, kemiskinan seakan-akan menjadi episode yang “to be continue” jika membiacarakan tentang kehidupan anak-anak zaman sekarang. Data dari KPAI yang disampaikan oleh Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno sampai bulan Mei 2019 bahwa pelanggaran hak anak di bidang pendidikan masih didominasi oleh berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Data tersebut seakan bertolak belakang dengan slogan Hari Anak Indonesia tahun 2019 yaitu “Kita anak Indonesia, Kita gembira”.
Fakta miris di atas jika ditelisik yang menjadi korban adalah anak. korban dapat terjadi bagi siapa saja. Namun, permasalahannya jika anak sudah mulai menjadi pelaku perbuatan menyimpang dan membuat kerugian di lingkungan. Data dari KPAI menunjukkan fakta miris kurang lebih 11.116 orang anak di Indonesia tersangkut kasus kriminal. Angka yang cukup mencengangkan anak sudah menjadi subjek kejahatan. Apa benar anak itu subjek kejahatan? Padahal dalam pendidikan dikenal teori tabularasa yaitu anak digambarkan sebagai sebuah botol kosong, yang mengisinya adalah pengalaman yang anak rasakan dari alat inderanya.
Pada teori tersebut menimbulkan pertanyaan bahwa anak sebagai subjek kejahatan dapat dicegah dengan memberi asupan yang baik, sehingga perbuatan anak menjadi baik. Pemberi asupan pertama yang wajib dan paling dekat adalah orang tua, istilah metode pemberian berupa pola asuh yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Pada ranah psikologi terdapat empat pola pengasuhan yaitu pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pengabaian. Pola tersebut membawa dampak sendiri-sendiri dalam pengaplikasiannya
Pola Asuh Hari Ini
Keempat pola tersebut saat ini yang paling dominan ke arah pengabaian, terdapat fenomena Fatherless arti istilahnya yaitu hilangnya peran psikologis Ayah pada perkembangan jiwa anak, peran ayah hanya menafkahi secara lahir saja tidak secara batin. Gawatnya Indonesia sendiri menjadi urutan ketiga sebagai Fatherless Country. Fatherless sendiri mempunyai dampak psikologis mengkhawatirkan, seperti anak mudah terkena narkoba, depresi, berbuat onar, pesimis, Agresif, sampai mudah untuk bunuh diri. Dikutip dari Centers for Disease Control and Prevention bahwa 85% perilaku menyimpang anak-anak berasal dari hilangnya peran ayah dalam mendidik anak. Padahal peran ayah sendiri dalam keluarga adalah imam atau pemimpin, dapat dibayangkan jika peran ayah hilang. Kalau dalam berkendara sopirnya hilang, kemungkinan besar kendaraannya akan kecelakaan.
Menengok ke dunia Ibu zaman sekarang, saat ini ibu-ibu tersibukkan dengan pekerjaannya, menjadikan anak terabaikan. Terdapat hasil penelitian bahwa usia 0-3 tahun wajib hukumnya orang tua menemani anaknya secara total karena menurut Erik Erikson rentang tersebut pada anak sedang masa pengisian pengalaman emosional. Pengalaman yang diterima anak antara positif dan negatif. Bukan berarti ibu harus memberikan semua hal kepada anak, akan tetapi wajib untuk memberikan pengalaman positif, seperti pendampingan dalam bermain, belajar, nonton film, lari-lari,dsb yang membuat pengalaman. Jika tidak dapat, pengalaman negatiflah yang akan diterima seperti kemarahan, kekerasan, dan pengabaian. Sehingga alih-alih ibu dapat membantu ekonomi suami tetapi justru anaklah yang menjadi korban psikologis. Pola asuh ayah dan ibu yang seperti ini, sudah dapat dipastikan perilaku menyimpang akan dikeluarkan dari dalam diri anak, anak yang dulunya korban menjadi subjek kejahatan, jadi salah siapa kalau hal ini terjadi?
Love Today, Lead Tomorrow
Cinta adalah kata kerja yang setiap orang tua harus punyai. Cinta akan buta jika tidak ditopang dengan wawasan parenting. Pengetahuan dasar tentang pola asuh sangatlah penting sebagai wujud dari cinta itu sendiri. Sering terdengar kasus orang tua begitu cintanya terhadap anak menjadikan pola asuhnya dominan permisif atau segala diberikan dalam bentuk pemanjaan anak, anak nangis berarti perlu dikasih barang yang diinginkan. Ketika besar, orang tuanya bingung kenapa anaknya tidak tahan banting, ketika menghadapi masalah langsung give up.
Padahal dalam empat pola asuh tersebut ada positif dan negatifnya, sekali lagi cinta orang tua perlu dibarengi dengan wawasan untuk pandai memilah dan memilih mana yang pas untuk diaplikasikan mana yang tidak menyesuaikan dengan situasi dan kondisi anak, kalau bahasanya cak nun orang tua harus pandai Nge Gas dan Nge Rem. Bisa jadi pengabaian adalah pola asuh baik jika anak melakukan kesalahan yang tidak terlalu fatal. Otoriter juga baik jika mengajarkan anak beribadah setelah berusia di atas 7 tahun. begitu juga pola asuh permisif dan demokratis.
Semua orang tua pasti ingin anaknya senang, riang, gembira dalam membesarkan dan bangga ketika ditakdirkan untuk sukses di dunia dan akhirat. Banyak sekali cerita sukses anak yang dibesarkan dengan cinta dibarengi dengan pengetahuan asuh. Bapak Mahfud MD, meskipun dalam cerita dibesarkan dari bapak dan ibu yang buta huruf tetapi mereka tahu untuk pendidikan selalu dikedepankan. Bapak Mahfud MD ingin buku ini, orang tua selalu ada, yang saat ini menjadikan anaknya menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi dan Guru Besar. Menarik lagi Yulia Fitriani, dibesarkan oleh kedua orang tua bekerja sebagai petani, tetapi sukses menjadi lulusan terbaik di Universitas Lambung Mangkurat tahun 2019. Contoh tersebut hanya sebagian kecil dari berita yang ada di masyarakat yang diliput media.
Cinta saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan pengetahuan pola asuh anak. Bukan masalah miskin atau kurang mampu, tetapi mau tidak kita dalam belajar pola asuh. Akses tentang pola asuh begitu mudah didapat. Jika setiap orang tua hari ini mengedepankan cinta dalam pola asuh anak, tentu akan didapat pola asuh yang berkualitas. Harapan dan cita-cita besar begitu mudah untuk diwujudkan, bisa jadi bonus demografi tahun 2025-2045 akan jadi saksi bahwa anak-anak emas Indonesia akan menjadi subjek atau agent of change yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa bahkan dunia.